Perkembangan Islam dan Asal Usul Nama Jambi

Provinsi Jambi terletak di tengah Pulau Sumatra, Indonesia, dengan ibu kota yang sama dengan provinsi. Pada tahun 2021, jumlah penduduk Jambi mencapai 3.548.228 jiwa dan memiliki luas wilayah sebesar 50.160,05 km2.
Daerah ini terkenal dengan literatur kuno yang terkenal, yang sering disebutkan dalam prasasti dan berita dari Tiongkok, menunjukkan bahwa Jambi memiliki hubungan yang lama dengan Tiongkok dan disebut dengan nama Chan-pei.
Ada empat kerajaan Melayu Kuno yang diduga berada di Jambi, yaitu Koying, Tupo, Kantoli, dan Zabag. Selain itu, terdapat prasasti Karang Berahi yang ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dan aksara Pallawa, yang berasal dari abad ke-7 Masehi.
Jambi juga dikenal memiliki kompleks candi Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara, dengan luas 3981 hektar yang dikenal sebagai Candi Muaro Jambi.
Baca juga: Jembatan Ampera
Kompleks candi ini diyakini sebagai warisan dari kerajaan Sriwijaya dan Melayu yang berasal dari abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi. Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi terbesar dan terbaik di Pulau Sumatra.

Asal Usul Nama Jambi

Ada tiga versi terkait asal usul nama Jambi:

Putri Selaras Pinang Masak

Pada masa pemerintahan Puteri Selaras Pinang Masak yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit, muncul nama Jambi untuk pertama kalinya. Bahasa keraton saat itu dipengaruhi oleh bahasa Jawa, termasuk dalam penamaan "Pinang Masak" yang dalam bahasa Jawa disebut "Jambe".
Akibatnya, kerajaan tersebut dikenal dengan nama Kerajaan Melayu Jambe. Dari sinilah, masyarakat setempat secara luas menyebut daerah ini dengan nama "Jambi".

Orang Kayo Hitam

Mungkin saat lokasi Tanah Pilih dipakai sebagai dasar untuk membangun kerajaan baru, pohon pinang banyak tumbuh di sepanjang Sungai Batanghari, sehingga nama itu dipilih oleh Orang Kayo Hitam.

Kerajaan Melayu Jambi

Dalam buku sejarah "De Oudste Geschiedenis van de Archipel", disebutkan bahwa Kerajaan Melayu Jambi pada abad ke-7 hingga ke-13 merupakan pelabuhan dagang yang ramai.
Banyak kapal dagang dari berbagai bangsa seperti Portugis, India, Mesir, Cina, Arab, dan Eropa berlabuh di sana.
Legenda yang ditulis oleh Chaniago menceritakan bahwa sebelum Kerajaan Melayu terpengaruh oleh Hindu, Puteri Dewani dan Ratna Wali, putri Melayu, berlayar bersama suami mereka ke Arab dan Ruhum Jani masing-masing dengan kapal niaga Mesir dan Arab. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara orang Arab dan Mesir dengan orang Melayu.
Kemungkinan asal mula nama Jambi adalah dari julukan orang Arab atau Mesir yang sering berkunjung ke pelabuhan dagang Melayu.
Orang Arab dan Mesir memberikan nama "Jambi" yang berarti "tetangga" atau "sahabat akrab" kepada rakyat Melayu pada waktu itu. Sebelumnya, daerah ini bernama Kampung Jam. Nama tersebut kemudian berubah menjadi Jambi setelah ditemukan oleh Orang Kayo Hitam atau Tanah Pilih.
Menurut teks Hikayat Negeri Jambi, asal kata "Jambi" berasal dari perintah Raja Tun Telanai untuk menggali sebuah kanal dari ibu kota kerajaan ke laut dalam waktu satu jam. Setelah berhasil menyelesaikan tugas tersebut, kata "jam" menjadi asal mula nama "Jambi".

Sejarah Kerajaan Melayu Jambi

Jambi merupakan wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama wilayah ini sering disebutkan dalam prasasti-prasasti dan berita-berita Tiongkok.
Hal ini menunjukkan bahwa orang Tiongkok telah lama menjalin hubungan dengan Jambi, yang mereka sebut Chan-pei. Diperkirakan ada tiga kerajaan Melayu Kuno di Jambi: Kerajaan Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M), dan Kerajaan Kandali/Kantoli (abad ke-5). Namun, kerajaan-kerajaan ini lenyap tanpa banyak meninggalkan jejak sejarah.
Informasi tertua tentang Kerajaan Melayu Jambi terdapat dalam T'ang-hui-yao yang ditulis oleh Wang-p'u pada tahun 961 M pada masa pemerintahan Dinasti Tang dan dalam Hsin T'ang Shu yang ditulis pada awal abad ke-7 M pada masa pemerintahan Dinasti Sung.
Kerajaan Melayu Jambi didirikan sekitar tahun 644/645 M, lebih awal 25 tahun dari Sriwijaya yang didirikan pada tahun 670. Sayangnya, sejarah Melayu Kuno masih sangat minim. Sampai saat ini, data utama masih didasarkan pada laporan-laporan dari Tiongkok, yang terkadang sulit untuk diterjemahkan.
Setelah Sriwijaya berdiri, Kerajaan Melayu Jambi menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya. Namun, setelah Sriwijaya runtuh akibat serangan dari Kerajaan Chola dari India pada tahun 1025 M, banyak bangsawan Sriwijaya yang melarikan diri ke hulu Sungai Batang Hari dan bergabung dengan Kerajaan Melayu yang sudah ada sebelumnya, tetapi saat itu menjadi wilayah taklukan.
Sekitar setengah abad kemudian, sekitar tahun 1088 M, situasinya berubah, dan Kerajaan Melayu Jambi menaklukkan Sriwijaya yang sudah lemah.
Kerajaan Melayu Jambi kemudian berkembang lagi dan berganti nama menjadi Dharmasraya. Hanya sedikit catatan sejarah yang menyebutkan Dharmasraya. Raja bernama Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (1270-1297) menikah dengan Puti Reno Mandi, dan dari pernikahan ini lahir dua putri, Dara Jingga dan Dara Petak.

Pusat Perdagangan

Pada masa itu, Kerajaan Melayu Jambi menjadi pusat perdagangan dan transaksi bagi para pedagang dari berbagai negara seperti Persia, Arab, India, Mesir, Cina, dan Eropa.
Kerajaan ini terkenal sebagai produsen lada, produk hutan, dan emas. Di masa itu, kerajaan Melayu yang dipengaruhi oleh Hindu telah membangun sekolah tinggi yang dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai kerajaan untuk mempelajari agama Buddha dan bahasa Sanskerta.
Namun, batas wilayah Kerajaan Melayu Jambi saat itu masih tidak jelas dan tetap diatur berdasarkan adat dan kekuasaan, dari Tanjung Jabung sampai Durian Takuk Rajo, dan dari Sialang Belantak Besi ke Bukit Tambun Tulang.
Batas-batas tersebut diakui dan dikenang oleh seluruh masyarakat Jambi, yang harus dipahami untuk melindungi wilayah dari invasi Belanda yang saat itu sudah berada di daerah tetangga seperti Palembang, Padang, Bengkulu, dan Riau. Pada awal abad ke-8, seorang raja Melayu Jambi bernama Sri Maharaja Srindrawarman memeluk agama Islam.
Namun, antara awal abad ke-8 hingga awal abad ke-12, dakwah Islam tidak berkembang di Jambi. Barulah setelah daerah ini ditaklukan oleh Samudra Pasai (1285-1522), agama Islam mazhab Syafii mulai berkembang di Jambi.
Pengaruh dari agama Islam memberikan ciri khusus dan menentukan jalannya perkembangan serta merubah kebudayaan Melayu Jambi. Agama Hindu/Budha, yang sebelumnya mempengaruhi corak dan dikenal sebagai kebudayaan Melayu Jambi, dipaksa mundur oleh agama Islam.

Pengaruh Perkembangan Islam

Pengaruh Islam memberikan pengaruh yang besar dan membentuk arah baru serta pola khas dalam kebudayaan material dan spiritual Melayu Jambi. Pada abad ke-15 dan ke-16, muncul pemerintahan kesultanan di Jambi yang terdiri dari beberapa posisi kekuasaan seperti Sultan, Patih Dalam, Patih Luar, Batin, Tengganai, dan Penghulu.
Pemerintahan di Kesultanan Jambi pada abad ke-20 dan awal abad ke-21 terdiri dari beberapa posisi kekuasaan seperti Sultan, Patih Dalam, Patih Luar, Batin, Tengganai, dan Penghulu. Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, Jambi menjadi daerah keresidenan dan bagian dari Provinsi Sumatera. Kemudian ketika Provinsi Sumatera terpecah menjadi tiga provinsi, Keresidenan Jambi masuk ke dalam Provinsi Sumatera Tengah.
Selanjutnya, Jambi menjadi Provinsi Daerah Tingkat I melalui Kongres Rakyat Djambi hingga diterapkannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Saat ini, Provinsi Jambi terletak di tengah Sumatera dengan luas wilayah 53.435 km2 dan terletak antara 00452045 LS dan 10100104055 BT.
Terdapat sembilan kabupaten dan satu kota di Provinsi Jambi, yaitu Batanghari, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Sarolangun, Merangin, Tebo, Bungo, Kerinci, Muaro Jambi, dan Kota Jambi. Mayoritas penduduk Provinsi Jambi memeluk agama Islam (96,14%), diikuti oleh protestan (1,85%), Budha (1,21%), Katolik (0,66%), Hindu (0,07%), dan agama lainnya (0,07%).

Referensi

  • de Graaf, H. J., & Pigeaud, T. G. T. (1974). Geschiedenis van het Vorstendom PalĂ©mbang in de 16de Eeuw. In De eerste moslimse vorstendommen op Java (pp. 199-205). Brill.
  • https://bappeda.jambiprov.go.id
  • https://jambiprov.go.id
  • https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/sejarah-jambi-1855-1950/
  • Abid, M. H. (2010). Saifuddin atau Safiuddin?: Atau Jambi di Pinggir Sejarah. Kontekstualita: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan25(2), 335-351.
  • Putra, B. A. (2018). Sejarah Melayu Jambi dari Abad 7 Sampai Abad 20. Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam3(1), 1-14.
  • Rahim, A. (2022). KERAJAAN MELAYU KUNO: Tinjauan Sejarah Jambi Hingga abad 13. Jurnal Ilmiah Dikdaya12(1), 172-183.
  • Syaputra, M. A. D., Sariyatun, S., & Ardianto, D. T. (2020). Pemanfaatan situs purbakala candi muaro jambi sebagai objek pembelajaran sejarah lokal di era digital. Jurnal Pendidikan Sejarah Indonesia3(1), 77-87.

LihatTutupKomentar