Kerajaan Sriwijaya: Sejarah dan Perkembangannya

Palembang adalah ibu kota dari provinsi Sumatra Selatan dan merupakan kota tertua di Indonesia yang didirikan pada abad ke-7. Pada masa lalu, Palembang merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Melayu Sriwijaya yang memiliki kekuasaan di wilayah barat Nusantara dan berpengaruh besar dalam perdagangan maritim, terutama di Selat Malaka.
Setelah Kesultanan Palembang dihapuskan, kota ini menjadi bagian dari Hindia Belanda pada tahun 1825 dan diberikan status sebagai kota pada tahun 1906. Saat ini, Palembang merupakan salah satu kota besar di Sumatra dan Indonesia yang telah menjadi tuan rumah berbagai acara olahraga internasional seperti Southeast Asian Games 2011 dan Asian Games 2018.

Asal Usul Perkembangan Kerajaan Sriwijaya

Prasasti kedukan bukit
Prasasti Kedukan Bukit yang berasal dari Palembang dan ditulis pada tahun 682 Masehi adalah catatan tertua yang ditemukan. Isinya menceritakan tentang seorang raja yang memiliki kekuatan supranatural dan berhasil memimpin pasukan besar di laut dan darat. Ia berangkat dari delta Tamvan dan sampai di suatu tempat bernama "Matajap". Beberapa ahli meyakini bahwa "Matajap" yang disebutkan dalam prasasti adalah Mukha Upang, sebuah kabupaten di Palembang. Raja ini diduga menjadi pelopor berdirinya Kerajaan Sriwijaya.
Menurut George Coedes, pada pertengahan abad ke-9, Jawa dan Sumatra diperintah oleh Sailendra yang berkedudukan di Jawa dan memiliki pusat kekuasaan di Palembang. Selain itu, artikel ini juga membahas asal usul nama dan perkembangan Islam di Jambi. Palembang sendiri merupakan kota tertua di Indonesia yang berasal dari abad ke-7 dan pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Melayu Sriwijaya yang berkuasa di wilayah barat Nusantara dan berpengaruh besar dalam perdagangan maritim di Selat Malaka.

Kekuatan Ekonomi dan Politik Kerajaan Sriwijaya

Ilustrasi
Sebagai ibu kota Kerajaan Sriwijaya, kota tersebut telah menjadi pusat perdagangan yang penting di kawasan maritim Asia Tenggara selama lebih dari seribu tahun.
Sriwijaya mengontrol perdagangan melalui Selat Malaka dari abad ke-7 hingga ke-13 dan memperkuat pengaruhnya atas negara-negara di Sumatra dan Semenanjung Malaya.
Catatan dari bahasa Sanskrit dan Tiongkok menunjukkan bahwa kerajaan ini berkembang dan sukses karena menjadi perantara perdagangan antara Tiongkok dan India. Karena adanya musim monsun, para pedagang dari Tiongkok atau India harus tinggal di Sriwijaya selama beberapa bulan atau kembali ke Tiongkok atau India.
Inilah yang menjadikan Sriwijaya sebagai pusat perdagangan internasional terbesar dan bukan hanya mengembangkan pasar, tetapi juga membangun infrastruktur seperti penginapan dan tempat hiburan untuk para pedagang.

Budaya dan Kebudayaan Kerajaan Sriwijaya

Sriwijaya tidak hanya menjadi pusat perdagangan, tetapi juga menjadi pusat kebudayaan. Yijing, seorang biksu Budha asal Tiongkok, pernah mengunjungi Palembang dan Jambi pada tahun 671 dan mencatat bahwa lebih dari seribu biksu dan sarjana terpelajar didukung oleh Kerajaan Sriwijaya untuk mempelajari agama di Palembang. Ia juga mencatat bahwa banyak "negara" yang dikenal dengan nama Sriwijaya (Shili Foshi) yang berada di bawah pengaruhnya.

Raja-Raja Kerajaan Sriwijaya

Berikut nama-nama raja yang pernah memerintah di Kerajaan Sriwijaya:
  • Dapunta Hyang Sri Jayanasa (683 M) 
  • Indrawarman (702 M) 
  • Rudra Wikrama (728-742 M) 
  • Sangramadhananjaya (775 M) 
  • Dharanindra/Rakai Panangkaran (778 M) 
  • Samaragrawira/Rakai Warak (782 M) 
  • Dharmasetu (790 M) 
  • Samaratungga/Rakai Garung (792 M) 
  • Balaputradewa (856 M) 
  • Sri Udayadityawarman (960 M) 
  • Sri Wuja atau Sri Udayadityan (961 M) 
  • Hsiae-she (980 M) 
  • Sri Cudamaniwarmadewa (988 M) 
  • Malayagiri/Suwarnadwipa (990 M)
  • Sri Marawijayottunggawarman (1008 M) 
  • Sumatrabhumi (1017 M) 
  • Sri Sanggrama Wijayatunggawarman (1025 M) 
  • Sri Dewa (1028 M) 
  • Dharmawira (1064 M) 
  • Sri Maharaja (1156 M) 
  • Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1178 M)

Kejatuhan Kerajaan Sriwijaya

Pada tahun 990, pasukan dari Kerajaan Medang menyerang Sriwijaya dan merusak Palembang beserta istananya. Cudamani Warmadewa meminta bantuan dari Tiongkok, dan pada tahun 1006 invasi tersebut berhasil dipukul mundur. Sebagai balasannya, Raja Sriwijaya membantu Raja Wurawari dalam pemberontakan terhadap Kerajaan Medang dan akhirnya berhasil membunuh keluarga kerajaan Medang.
Pada tahun 1068, wilayah Kedah dari Sriwijaya ditaklukkan oleh Raja Chola. Akibatnya, Sriwijaya mengalami kerugian banyak tentara dan perekonomian merosot sehingga jangkauannya pun menyusut. Wilayah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Sriwijaya kemudian memisahkan diri dan membentuk kerajaan-kerajaan kecil. Sriwijaya akhirnya runtuh karena serangan militer dari kerajaan-kerajaan Jawa pada abad ke-13.
Pada saat yang sama, Pangeran Parameswara melarikan diri dari Palembang setelah diserang oleh pasukan tentara Jawa. Kota ini kemudian dihantui oleh kehadiran bajak laut, terutama Chen Zuyi dan Liang Daoming. Namun pada tahun 1407, Chen Zuyi berhasil dikalahkan oleh armada Kekaisaran Tiongkok yang dipimpin oleh Cheng Ho. Cheng Ho meminta Chen untuk menyerah, namun ternyata bajak laut tersebut sedang mempersiapkan serangan mendadak. Sayangnya, rencana tersebut telah diketahui oleh seorang mata-mata Tionghoa setempat dan disampaikan kepada Cheng Ho.
Dalam pertempuran sengit, prajurit Ming dan armada mereka berhasil mengalahkan bajak laut dan membunuh 5.000 orang. Chen ditangkap dan dieksekusi di depan umum di Nanjing pada tahun 1407. Akhirnya, perdamaian kembali tercipta di Selat Malaka setelah Shi Jinqing diangkat sebagai penguasa baru Palembang dan bergabung dengan sistem sekutu yang sangat jauh yang mengakui supremasi Ming sebagai imbalan atas pengakuan diplomatik, perlindungan militer, dan hak perdagangan.

Perkembangan Islam

Setelah Kesultanan Demak dijatuhkan oleh Kerajaan Pajang, Geding Suro, seorang bangsawan Demak dan pengikutnya melarikan diri ke Palembang dan mendirikan dinasti baru. Sejak itu, agama Islam menjadi mayoritas di Palembang. Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Jaya Wikrama, Masjid Agung Palembang dibangun pada tahun 1738 dan selesai pada tahun 1748.
Penduduk pun mulai bermukim di sepanjang Sungai Musi, dan beberapa rumah dibangun di atas rakit. Kesultanan kemudian menetapkan undang-undang yang membagi wilayah hilir Seberang Ilir, tempat istana berada, antara warga Palembang dan orang asing non-warga Palembang di seberang sungai dari istana, yang disebut Seberang Ulu. Rivalitas lokal dan tindakan Belanda membayangi Kesultanan Palembang. Pada tahun 1657, terjadi serangan pada kapal Belanda yang kemudian memicu ekspedisi hukuman pada tahun 1659 yang dilakukan Belanda dengan membakar kota Palembang.

Masa Kolonial

Pada masa Perang Napoleon pada tahun 1812, Britania menuntut sesuatu dari Sultan Mahmud Badaruddin II, namun tuntutan tersebut ditolak oleh sultan. Hal ini kemudian dianggap sebagai serangan oleh Belanda. Sebagai akibatnya, pada tahun 1818, ekspedisi militer Belanda menangkap Sultan Najamuddin dan memindahkan Sultan Mahmud Badaruddin II ke Ternate. Garnisun Belanda kemudian didirikan pada tahun 1821 dan pemerintahan kolonial Belanda langsung diterapkan setelah Kesultanan Palembang dihapuskan. Sejak Kesultanan Palembang dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1825, Palembang menjadi ibukota Keresidenan Palembang yang meliputi wilayah Provinsi Sumatra Selatan saat ini. Keresidenan tersebut dipimpin oleh Jan Izaäk van Sevenhoven sebagai residen pertamanya.

Penemuan Situs Arkeologis Kerajaan Sriwijaya

Temuan-temuan arkeologi mengenai Kerajaan Sriwijaya telah ditemukan sejak abad ke-19. Namun, beberapa temuan terbaru telah membantu menguatkan dan memperkaya pemahaman kita mengenai sejarah dan budaya kerajaan ini. Salah satu situs arkeologi yang penting adalah Candi Muaro Jambi yang terletak di Jambi, Sumatra. Situs ini menampilkan beberapa struktur bangunan dan prasasti yang menunjukkan bahwa Kerajaan Sriwijaya memiliki hubungan diplomatik dan perdagangan dengan wilayah lain seperti India dan China.
Candi Muaro Jambi
Beberapa situs arkeologi lain yang telah ditemukan, seperti di Palembang, Sumatra Selatan, juga menunjukkan adanya aktivitas perdagangan yang kuat dengan beberapa prasasti yang mencantumkan produk dan asal negaranya. Selain itu, beberapa penemuan arkeologi juga menunjukkan bahwa Kerajaan Sriwijaya memiliki hubungan dengan Buddhisme, seperti ditemukannya candi-candi dan monumen Buddha di beberapa situs.
Candi Muara Takus
Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa pengaruh Kerajaan Sriwijaya memiliki kekuatan yang besar di wilayah sekitarnya, termasuk dalam pengembangan bahasa, budaya, dan agama.

Selain itu, kerajaan ini juga memainkan peran penting dalam perdagangan maritim antara Asia dan Nusantara. Meskipun begitu, masih ada banyak hal yang harus diketahui dan dipelajari tentang Kerajaan Sriwijaya, sehingga penelitian arkeologi terus berlanjut untuk memperkuat dan memperkaya pemahaman kita tentang sejarah dan budaya ini.
Candi Bahal
Bukti-bukti lain dari warisan Kerajaan Sriwijaya termasuk Prasasti Talang Tuo, Prasasti Telaga Biru, Prasasti Kota Kapur, dan Prasasti Karang Berahi.

Referensi

  • Pusaka, I. (2007). Prasasti Kedukan Bukit dan Sejarah Kerajaan Sriwijaya. Yayasan Obor Indonesia.
  • Coedès, G. (1968). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press.
  • Soekmono, R. (1975). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.
  • Tirtosudarmo, R. (1997). Sejarah Nasional Indonesia. Balai Pustaka.
  • Damais, L. C. (1952). Sriwijaya: Histoire, archéologie et culture d’une civilisation maritime en Indonésie. EFEO.
  • Supomo, B. (2005). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Hindu-Buddha dan Zaman Kuno. Rineka Cipta.
  • Purnomo, E. (2003). Sejarah Kerajaan Sriwijaya. PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Sumitro, P. (1999). Sejarah Indonesia: Masa Hindu-Buddha dan Abad Pertengahan. PT Raja Grafindo Persada.
  • Pelras, C. (1996). The Bugis. Blackwell Publishers.
  • Muljana, S. (1997). Sejarah Kebudayaan Indonesia: Zaman Hindu-Buddha dan Zaman Kuno. PT Gramedia Pustaka Utama.
LihatTutupKomentar